Artikel Terbaru
LOWONGAN KERJA (Fundrising Officer (FO))
Written By ddsulsel on Kamis, 19 Desember 2013 | 23.15
LOWONGAN KERJA (Project Leader (PL))
Dompet Dhuafa Sulsel Gelar Seminar Kesehatan; "BPJS UNTUK SIAPA?"
Written By ddsulsel on Sabtu, 09 November 2013 | 03.20
Dompet Dhuafa Selengarakan Festival Anak Soleh 2013
Written By ddsulsel on Selasa, 23 Juli 2013 | 00.34
Dalam rangka menyemarakkan datangnya bulan ramadhan dengan kegiatan yang positif, Dompet Dhuafa Sulsel menyelenggarakan Festival Anak Saleh (FAS) 2013. Kegiatan ini merupakan kegiatan yang kelima yang diadakan bekerjasama dengan Makassar Town Square (MTOS) yang erlangsung dari tanggal 20-21 Juli 2013. Acara ini diikuti oleh sekitar 200 anak-anak usia SD Se-Kota Makassar. Dari tahun ke tahun peminatnya cukup banyak, selain itu banyak orang tua siswa maupun guru yang antusias untuk mengikutsertakan anaknya untuk ikut serta. Dalam kegiatan ini diadakan 7 macam lomba diantaranya; tartil al-quran, hafalan juz amma, busana muslim, lomba mewarnai, rangking 1, lomba adzan serta lomba da’i cilik. Selain itu acara ini juga diisi dengan kegiatan dongeng oleh Kak Heruman dari Rumah Dongeng sehingga menambah keceriaan para peserta yang hadir.
Tujuan dari diselenggarakannya kegiatan ini adalah untuk memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk lebih mengenali dan mencintai ajaran Islam serta mampu menggali potensi yang dimiliki sejak dini. Acara ini bisa terselenggara berkat adanya dukungan dari berbagai pihak. Dompet Dhuafa Sulsel sebagai inisiator mengajak masyarakat terutama orangtua agar lebih memperhatikan pendidikan agama anak serta memberikan kesempatan kepada anak untuk mengeksplorasi potensi serta bakat yang dimiliki. Anak-anak harus diberikan keleluasaan untuk menemukan potensi mereka melalui berbagai acara yang diikuti.
Diakhir acara dilakukan pengumuman pemenang masing-masing kategori lomba dan pembagian doorprize serta penyerahan trophy bergilir kepada pemenang utama.
DD Sulsel gulirkan program Donasi 100 paket perlengkapan Sekolah utk anak Yatim & Dhuafa
Written By ddsulsel on Senin, 15 Juli 2013 | 20.35
Libur sekolah sudah usai. Saatnya para siswa mempersiapkan diri kembali ke sekolah menimba ilmu. Tahun ajaran baru biasanya diwarnai dengan pergantian perlengkapan sekolah bagi mereka yang mampu. Namun tidak demikian bagi mereka anak-anak yatim dan dhuafa yang tinggal di panti asuhan. Jangankan berharap untuk mendapatkan perlengkapan sekolah baru, bahkan tidak jarang diantara mereka harus rela berbagi seragam, tas ataupun lainnya dengan saudara atau teman mereka. Yang lebih memperihatinkan adalah tidak sedikit orang tua yang terpaksa menunda atau tidak menyekolahkan anaknya karena tidak mampu memenuhi kebutuhan sekolah anaknya. Meski pemerintah sudah menggulirkan program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) namun fasilitas tersebut belum menjawab semua kesulitan kaum dhuafa.
Memadukan Ilmu dan Amal
Written By ddsulsel on Senin, 23 April 2012 | 04.19
Ibnu Bathah menuturkan sebuah riwayat dari Masruq, dari Abdullah yang berkata, “Sesungguhnya kalian berada pada suatu zaman yang di dalamnya beramal adalah lebih baik daripada berpendapat. Kelak akan datang suatu zaman yang di dalamnya berpendapat lebih baik daripada beramal.” (Ibn Baththah, Al-Ibanah al-Kubra, I/207).
Ath-Thabrani juga meriwayatkan sebuah hadis dari penuturan al-’Ala bin al-Harits, dari Hizam bin Hakim bin Hizam, dari ayahnya, dari Baginda Nabi Muhammad saw. yang bersabda, “Kalian benar-benar berada pada suatu zaman yang di dalamnya banyak sekali fuqaha dan sedikit sekali para ahli pidato…Pada zaman ini amal adalah lebih baik daripada ilmu. Kelak akan datang suatu zaman yang di dalamnya sedikit sekali fuqaha dan banyak para ahli pidato…Pada zaman ini ilmu lebih baik daripada amal.” (Ath-Thabrani, Al-Mu’jam al-Kabir III/236)
Dari kedua hadis di atas setidaknya dapat dipahami bahwa pada zaman yang pertama (yakni generasi Sahabat Nabi saw.) kebanyakan orang memahami Islam secara mendalam. Karena itu, yang dibutuhkan saat itu adalah mengamalkan apa yang telah dipahami. Sebaliknya, pada zaman yang kedua-kemungkinan adalah zaman kita hari ini-saat orang-orang yang memahami Islam secara mendalam sangat sedikit maka banyak orang yang beramal tanpa ilmu. Karena itu, pada zaman kini memahami dan mendalami Islam-yang kemudian diamalkan-tentu lebih penting daripada beramal tanpa didasarkan pada ilmu.
Kesimpulan ini setidaknya sesuai dengan makna riwayat yang diungkapkan oleh Imam Malik saat menuturkan hadis penuturan Yahya bin Said yang berkata bahwa Abdullah bin Mas’ud pernah berkata kepada seseorang, “Sesungguhnya engkau berada pada suatu zaman yang di dalamnya banyak para fuqaha dan sedikit para pembaca al-Quran yang menjaga hukum-hukumnya dan tidak terlalu fokus pada huruf-hurufnya…Kelak akan datang kepada manusia suatu zaman yang di dalamnya sedikit para fuqaha dan banyak para pembaca al-Qurannya yang menjaga huruf-hurufnya tetapi mengabaikan hukum-hukumnya.” (Imam Malik, Al-Muwaththa’, II/44).
Dari hadis ini setidaknya dapat dipahami tiga perkara. Pertama: Ibn Mas’ud tidak bermaksud menyatakan orang-orang yang membaca al-Quran pada zamannya sedikit. Namun, yang beliau maksud bahwa orang-orang yang membaca al-Quran pada zamannya-yang perhatiannya hanya pada bacaan tanpa memperhatikan hukum-hukumnya-amatlah sedikit. Dengan kata lain, pada zaman Sahabat Nabi saw. orang-orang biasa membaca al-Quran sekaligus memahami dan mengamalkan hukum-hukumnya, dan tidak memokuskan perhatiannya pada huruf-hurufnya, karena memang al-Quran adalah bahasa mereka. Sebaliknya, pada zaman kini-zaman yang mungkin diisyaratkan dalam hadis ini oleh Ibn Mas’ud-banyak orang membaca al-Quran hanya fokus pada bacaan (huruf-huruf)-nya saja, tetapi tidak memahami apalagi mengamalkan hukum-hukumnya.
Kedua: Akan datang suatu zaman-yang tentu berbeda dengan zaman Ibn Mas’ud alias zaman Sahabat Nabi saw.-yang di dalamnya sedikit para fuqaha (ahli fikih). Maksudnya, pada zaman itu-boleh jadi zaman kita hari ini-orang-orang yang memahami Islam secara mendalam amatlah sedikit. Kebanyakan mereka adalah yang bisa dan biasa membaca al-Quran tetapi tidak memahami isinya secara mendalam. Tentu hadis ini tidak sedang mencela para pembaca dan penghapal al-Quran. Yang dicela adalah sedikitnya para fuqaha dari kalangan mereka karena tujuan akhir mereka sebatas membaca dan menghapal al-Quran, bukan memahami isinya apalagi mengamalkan dan menerapkan hukum-hukumnya.
Ketiga: Akan datang suatu zaman yang di dalamnya huruf-huruf al-Quran benar-benar dijaga, tetapi hukum-hukumnya ditelantarkan. Maknanya, para pemelihara mushaf al-Quran jumlahnya banyak. Namun, kebanyakan mereka tidak memahami isi al-Quran itu. Tidak pula pada saat itu-yang sesungguhnya telah terjadi pada zaman kini-manusia dipimpin oleh imam atau para penguasa yang menerapkan al-Quran di tengah-tengah mereka. Akibatnya, hukum-hukum al-Quran ditelantarkan. Ini jelas bertentangan dengan zaman Sahabat Nabi saw. saat manusia dipimpin oleh para pemimpin yang berhukum dengan al-Quran dan menerapkan al-Quran kepada mereka (Lihat: Al-Muntaqa Syarh al-Muwaththa’, I/429).
Alhasil, pesan inti dari hadis di atas sesungguhnya adalah: Pertama, dorongan kepada setiap Muslim untuk membaca dan memahami al-Quran atau mendalami Islam. Kedua, mengamalkan isi al-Quran termasuk berusaha terus mendorong para penguasa untuk menerapkan hukum-hukumnya (syariah Islam) di tengah-tengah masyarakat.
Inilah wujud nyata dari sikap memadukan ilmu dan amal. Sudahkah kita melakukannya? WalLahu a’lam bi ash-shawab. []
Lihatlah ke Bawah, Jangan ke Atas!
Dalam hal materi, Islam memerintahkan umatnya agar melihat ke bawah, bukan ke atas. Dengan begitu, seorang Muslim akan kian terpacu untuk senantiasa bersyukur.
Demikian pula dalam hal ketampanan/kecantikan. Jika harus membandingkan, bandingkan dengan yang di bawah, bukan dengan yang lebih tampan/cantik, agar kita senantiasa bersyukur.
“Pandanglah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah engkau pandang orang yang berada di atasmu. Hal itu akan membuatmu tidak meremehkan nikmat Allah padamu.” (HR. Bukhari & Muslim).
“Jika salah seorang di antara kalian melihat orang yang memiliki kelebihan harta dan bentuk (rupa), maka lihatlah kepada orang yang berada di bawahnya.” (HR. Bukhari & Muslim).
Al-Munawi mengatakan, jika seseorang melihat orang di atasnya (dalam masalah harta dan dunia), dia akan menganggap kecil nikmat Allah yang ada pada dirinya dan dia selalu ingin mendapatkan yang lebih.
Cara mengobati penyakit semacam itu, hendaklah seseorang melihat orang yang berada di bawahnya (dalam masalah harta dan dunia). Dengan begitu, seseorang akan ridha dan bersyukur, juga rasa tamaknya (terhadap harta dan dunia) akan berkurang. Jika seseorang sering memandang orang yang berada di atasnya, dia akan mengingkari dan tidak puas terhadap nikmat Allah yang diberikan padanya.
Sebaliknya, dalam masalah amal saleh, seorang Muslim harus melihat ke atas –yang lebih saleh dan lebih rajin ibadahnya. Bahkan, ia boleh iri-hati dalam masalah ukhrawi ini sehingga memotivasinya untuk lebih giat beribadah.
“Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.” (QS. Al Ma’idah: 48)
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imron: 133)
Imam Hasan Al-Bashri berkata: “Apabila engkau melihat seseorang mengunggulimu dalam masalah dunia, maka unggulilah dia dalam masalah akhirat.
” Wallahu a’lam.*
Hubungan Baik dengan Allah Saja Tidak Cukup
Hablum minallah (hubungan dengan Allah) seperti rajin shalat, puasa, dsb. tidak cukup bagi sorang ahli surga, tapi ia juga harus hablum minannas (hubungan dengan sesama manusia) berupa akhlak dan perilaku yang baik, termasuk tidak menyakiti tetangga, teman, atau sesama manusia.
Rasulullah Saw menegaskan, “Ittaqillah haytsu ma kunta, wattabi’i saiatil hasanata tamhuha wa khaaliqinnasa bi khuluqin hasanin” (HR At-Tirmidzi). Bertakwalah kepada Allah di mana saja berada, dan iringi perbuatan buruk dengan berbuat baik, maka keburukan itu akan hapus, dan bergaullah dengan sesama manusia dengan perangai yang baik.
Syahdan, di zaman Rasulullah Saw, ada seorang perempuan yang sangat rajin berpuasa sunnah, apalagi puasa wajib, di malam harinya ia habiskan waktunya dengan shalat dan berdzikir.
Ketika wanita itu meninggal dunia, ada sahabat berkomentar positif : “Alangkah bahagianya dia (wanita itu) karena syurga telah menantinya“. Hal itu ditanggapi oleh Rasul dengan sabdanya “HIYA FINNAR” “Sesungguhnya ia (wanita itu) masuk neraka.” (HR. Hakim).
Dalam hadits lain dikatakan, Nabi Saw bersabda : “Demi Allah, ia bukanlah orang beriman. Ditanyakan kepada beliau, siapakah orang itu wahai Rasulullah? Beliau menjawab “Orang karena perbuatannya menyebabkan tetangganya merasa tidak aman.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Wallahu a’lam.
Ancaman Neraka bagi Para Pendosa
Selain penting untuk selalu meyakini adanya surga-sebagai balasan bagi pelaku ketaatan kepada Allah SWT-agar selalu terdorong untuk melakukan amal-amal kebajikan, setiap Muslim sejatinya harus selalu meneguhkan keyakinan dalam dirinya tentang adanya neraka sebagai balasan atas ragam kemaksiatan manusia kepada Allah SWT di dunia. Keyakinan tentang adanya neraka ini penting sebagai salah satu cara agar kita senantiasa hati-hati dan waspada dari segala bentuk perbuatan dosa. Sayangnya, keyakinan semacam ini sering hanya sebatas ada dalam hati dan ucapan di lisan. Pada praktiknya, tak sedikit Muslim yang justru dalam kesehariannya banyak melakukan amalan-amalan ahli neraka; seolah-olah mereka tidak takut terhadap dahsyatnya azab neraka. Buktinya: Korupsi makin menjadi-jadi. Suap-menyuap makin banyak terungkap. Perselingkuhan dan perzinaan makin transparan. Penyalahgunaan narkoba makin terbuka. Perkosaan makin gila. Pamer aurat makin dianggap biasa. Kejahatan makin merajalela. Sebaliknya, penegakkan hukum malah makin amburadul, dan keadilan makin jauh panggang dari api.
Semua itu boleh jadi karena orang saat ini sepertinya sudah tidak merasa takut lagi terhadap ancaman azab neraka. Kesadaran tentang dahsyatnya azab neraka seolah hilang dalam benaknya. Akibatnya, banyak orang tak lagi ragu dan malu untuk melakukan ragam dosa dan kejahatan. Padahal Allah SWT telah berfirman di antaranya (yang artinya): Takutlah kalian terhadap neraka yang bahan bakarnya terdiri dari manusia dan bebatuan (TQS al-Baqarah [2]: 24).
Orang-orang kafir dan yang mendustakan ayat-ayat Kami adalah para penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya (TQS al-Baqarah [2]: 39).
Katakanlah, “Api Neraka Jahanam itu amatlah panas jika saja mereka mengetahuinya.” (TQS at-Taubah [9]: 81).
Tempat mereka adalah Neraka Jahanam sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan (TQS at-Taubah [9]: 95).
Kami menampakkan Neraka Jahanam pada hari itu kepada orang-orang kafir dengan jelas (TQS al-Kahfi []: 100).
Niscaya kalian benar-benar akan melihat Neraka Jahim (QS at-Takatsur []: 6-7).
Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami mengganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan (kerasnya) azab (QS an-Nisa’ [4]: 56).
Maka dari itu, Kami memperingatkan kalian dengan neraka yang menyala-nyala; tidak masuk ke dalam neraka itu kecuali orang yang paling celaka, yang mendustakan (kebenaran) dan berpaling (dari iman) (QS al-Lail [92]: 12-16).
Selain sejumlah ayat di atas dan ayat-ayat lainnya yang banyak jumlahnya, ancaman neraka yang amat dahsyat dengan aneka jenisnya juga disebutkan dalam banyak hadis Nabi saw. Di antaranya adalah sabda Nabi saw. yang menyatakan, “Sesungguhnya siksaan paling ringan yang dirasakan ahli neraka pada Hari Kiamat ialah seseorang yang di bawah kedua tumitnya diletakkan dua bara api yang dapat mendidihkan otaknya (HR al-Bukhari dan Muslim dari Nu’man bin Basyir).
Demikianlah Allah SWT dan Rasul-Nya mengingatkan manusia mengenai dahsyatnya azab neraka di akhirat nanti. Azab neraka tersebut disediakan bagi orang yang mendustakan petunjuk Allah SWT dan berpaling dari-Nya serta yang gemar berbuat dosa dan maksiat kepada-Nya. Ironisnya, bukannya takut azab neraka, sebagian dari para pendosa dan pelaku maksiat itu malah ada yang melakukan semua itu dengan perasaan bangga, tanpa ada rasa bersalah atau merasakan penyesalan sedikitpun.
Yang pasti, penyesalan akan mereka rasakan di akhirat nanti, yakni saat Allah SWT meminta pertanggungjawaban atas setiap perbuatan manusia yang dilakukan di dunia. Saat itu seluruh manusia dikumpulkan di Padang Makhsyar. Seluruh manusia tidak diperkenankan berbicara kecuali dengan izin-Nya dan berkata benar (Lihat: QS an-Naba’ [78]: 38). Mereka juga tidak diberikan kesempatan membuat-buat alasan (Lihat: QS al-Mursalat [77]: 35-36). Bahkan mulut mereka pun dikunci dan tidak bisa bicara (Lihat: QS Yasin [36]: 65). Yang akan bersaksi secara jujur adalah tangan dan kaki mereka serta anggota tubuh mereka. Saat itu, satu-satunya hukum yang berlaku untuk mengadili manusia adalah hukum Allah SWT. Saat itu Allah SWT adalah satu-satunya Hakim yang mengadili manusia dengan seadil-adilnya. Allahlah yang akan mengadili semua perbuatan yang menyimpang dari syariah-Nya. Allah SWT pula yang akan menimpakan azab yang keras kepada para pendosa, yang gemar berbuat maksiat saat di dunia. Mereka ini akan dilemparkan ke dalam azab yang mengerikan, yakni neraka yang menyala-nyala. Na’udzu bilLahi min dzalik.
Wa ma tawiqi illa bilLah []